Laman

Sabtu, 17 April 2010

Kamis, 8 April 2010

Mendebarkan. Itu yang kurasakan saat mataku bertemu pandang dengan matanya.

Hari ini aku sengaja berangkat sekolah sedikit lebih cepat dari biasanya—biasanya aku datang ke sekolah lima sampai sepuluh menit sebelum bel sekolah berdering—hanya agar aku dapat berpapasan dengannya lagi. Karena kemarin aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Aku berangkat kurang cepat kemarin. Dan hari ini aku berangkat pukul enam lewat sepuluh menit. Aku tak mau kehilangan waktu untuk berpapasan dengannya lagi hanya karena menunggu angkutan antar kota yang mengetem mencari penumpang.

Aku turun dari angkot di perempatan dekat sekolahku saat lampu lalu lintas berwarna merah. Aku berjalan di trotoar dengan buku di tanganku yang kubaca saat di angkot tadi. Aku  mengikuti trotoar berjalan membelok ke kiri, lalu menyeberang saat lampu lalu lintas berwarna merah. Kemudian aku kembali berjalan di atas trotoar.

Aku berjalan dengan perasaan tegang. Aku begitu ingin bertemu dengannya. Tapi disisi lain aku juga tak ingin bertemu dengannya karena malu. Kemarin temanku bilang dia kelihatan ganteng banget, bahkan lebih dari biasanya. Tapi sayangnya, aku tak sempat melihatnya. Aku memang selalu menceritakan soal cowok dengan beberapa temanku yang menurutku mereka bisa dipercaya. Dan beberapa waktu lalu aku bertemu dengan temanku, Olive—beberapa saat setelah turun dari angkot. Dia bertanya-tanya tentang cowok yang biasa kulihat disini, diatas trotoar ini. Secara kebetulan dia ada didepan. Olive berbisik kepadaku “ini ya?” Aku hanya mengangguk untuk menjawab.

Aku berjalan sambil membaca buku fisika di tanganku, sedangkan mataku melirik-lirik ke depan mencari-cari sosok yang kukenal. Ketika mataku menangkap sesosok yang kukenal, jantungku mulai berdetak tak keruan. Aku kurang yakin kalau itu dia karena masih terlalu jauh. Tapi jantungku terlalu yakin kalau itu dia. Badannya yang tinggi, bersih, dan tampangnya yang innocent banget bener-bener membuatku yakin kalau itu dia. Aku berusaha untuk berjalan biasa saja saat langkah-langkah kami membawa kami semakin mendekat. Aku menunduk berusaha membaca buku yang berada dalam genggamanku. Aku menghitung langkah kakiku dalam hati—kebiasaan buruk jika aku sedang berjalan—tapi itu bisa membuatku lebih rileks sedikit. 1, 2, 3, 4, 5, 6…… 23, 24, 25. Dia berada terlalu dekat denganku, membuat detak jantungku semakin tak berirama. Dan aku tak bisa menahan godaan untuk melirik ke arahnya.

DEG! Dia sedang melihatku, sama seperti hari-hari berikutnya saat kami bertemu disepanjang trotoar ini. Tapi kali ini berbeda, dia tersenyum padaku. Bayangkan! TERSENYUM! Memang bukan senyum lepas. Itu hanya senyum simpul biasa. Tapi senyumnya mampu membuatku serasa lumer, mencair seperti margarine yang dipanaskan. Jantungku berhenti berdetak selama sedetik yang terasa lama bagiku, kemudian kembali berdegup berkali-kali lipat lebih cepat dari sebelumnya. Aku merasa terlalu gugup untuk membalas senyumnya, atau paling tidak memberikan respon. Aku menarik ujung-ujung bibirku, memaksakannya untuk berusaha membentuk sebuah senyuman. Tapi kurasa aku gagal. Karena jantungku berdetak terlalu kacau. Aku bahkan merasa kesulitan untuk bernapas. Aku kembali menunduk. Kali ini aku memperhatikan sepatuku yang sudah pecah-pecah dibagian bawahnya yang membuat air dapat dengan mudahnya masuk ke dalam sepatuku dan mengotori kaus kakiku.

Kami mulai saling memperhatikan—atau mungkin aku yang kege-eran—seperti ini, semenjak aku duduk di kelas sebelas. Tapi aku sendiri tak ingat kapan pertama kalinya aku benar-benar menyadari kehadirannya seperti sekarang ini. Yang penting, aku masih ingat waktu pertama kali dia melemparkan senyumnya padaku. Saat itu aku masih kelas sebelas.

Entah mengapa dalam satu hari ini rasanya aku tak bisa berhenti tersenyum. Hari ini aku UAS terakhir. Mata pelajaran hari ini KKPI, fisika dan kimia. Mata pelajaran kimia dan fisika dicampur menjadi satu. UAS hari ini berjalan lancer meskipun fisika aku hanya dapat mengerjakan beberapa soal. Biar sesulit apapun, aku tak pernah mengosongkan lembar jawabanku. Selesai ujian, kami diminta panitia ujian untuk berkumpul di aula sekolah. Disana kami membahas tentang perpisahan yang akan diadakan di daerah Bandung. Awalnya kami diberi dua opsi. Opsi pertama, kami mengunjungi Jogja dan sekitarnya dengan biaya diatas enam  ratusan. Opsi kedua, kami mengunjungi Bandung dan sekitarnya dengan biaya dua ratusan. Karena warga sekolahku ini termasuk ke dalam ekonomi menengah ke bawah, maka kami memilih biaya yang lebih murah untuk meringankan beban orang tua juga.

Kami keluar dari aula sekitar pukul sebelasan. Aku teringat kemarin aku bertemu dengannya di jam-jam segini ini. Aku langsung menarik tangan temanku, Anita yang selalu menanyakan seseorang yang kulihat dijalan denagn ributnya. Siapa tahu aku bisa bertemu dengannya lagi. Kami berjalan bertiga ditambah dengan Jadung sambil mengobrol. Setiap kali ada anak sekolah yang lewat, Anita selalu bertanya “itu bukan?” dan aku selalu menjawab dengan gelengan kepalaku. Setelah berjalan agak lama, akhirnya aku melihat sosoknya lagi. Memang masih belum terlalu jelas karena jarak yang terbentang yang memisahkan aku dengannya masih jauh. Tapi detak jantungku sudah mulai berantakan.

Aku berbisik pada Anita “itu, Ta.”

“Itu dia?” Tanya Anita, meyakinkan dirinya sendiri. “Ganteng, Cha!” serunya girang.

 “Diem ahh berisik!” Bisikku. Aku berusaha menenangkannya. Jarak diantara kami semakin menyempit. Aku terlalu malu kalau sampai dia sadar sedang dibicarakan, karena suara Anita kelewat nyaring. Tapi Anita tak bisa diingatkan sekali dua kali.

“Ganteng tau, Cha!” Serunya lagi.

“Iya tau Cha, ganteng.” Imbuh Jadung.

“Berisik! Nanti kalo dia tau kita lagi ngomongin dia bisa ge-er dia.” Desisku kesal dengan tingkah mereka. Aku menarik-narik bagian belakang seragam sekolah Jadung agar mereka diam.

Saat dia lewat, aku benar-benar tak bisa menahan diri untuk melirik ke arahnya. Dan lagi-lagi aku merasa seperti cokelat yang meleleh diatas kompor. Matanya memenjarakanku, menjeratku untuk selalu menatapnya. Dia tidak tersenyum, tapi tentu saja itu tidak mengurangi ketampanannya. Aku tak mudah terkesan dengan laki-laki. Tapi dia benar-benar mampu mempesonaku. Aku memaksakan diriku untuk menunduk, malu. Aku merasakan darah berdesir di kepalaku, dan rasanya wajahku mendadak menjadi panas. Keringat dingin membasahi seragam sekolahku. Setelah dia lewat aku kembali mendengar seruan Anita dengan suara lumayan keras. Kurasa dia bisa mendengarnya.

“Dia ngeliatin lu tau, Cha!”

Aku tetap diam.

“Dia nengok lagi, Cha!” Seru Anita dengan lantangnya.

“Aduh!” Gerutuku pelan. Ni anak enggak bisa diem amat sih...?? Tapi reflex aku menoleh. Ada suatu dorongan kuat untuk melakukannya. Padahal selama ini aku hampir selalu bisa menahan diri dari dorongan apapun. DEG! Jantungku berdetak berkali-kali lebih, lebih, dan lebih cepat dari biasanya. Aku melihatnya sedang menoleh ke arahku juga. Aku langsung memutar tubuhku menghadap ke jalan didepanku lagi. Aku mulai melangkah perlahan-lahan sambil menghitung langkahku dalam hati. Aku merasa agak sesak napas.

“Iya kan, Cha, dia ngeliatin lu aja. Pas dia lewat juga dia nunduk aja ngeliatin lu.” Anita mulai berceloteh dengan riangnya. Matanya memancarkan binar kepuasan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Aku hanya menunduk. Aku tidak mendengarkan celotehannya lagi karena detak jantungku masih tetap kacau.

“Kenapa lu cengengesan gitu?” Tanya Anita.

“Ng-gak.” Bantahku. Tapi suaraku terdengar bergetar.

“Senyum-senyum aja enggak jelas. Bilang aja lu masih kepikiran yang tadi kan?” Ledek Anita.

“Aaaaahhh, nitaaaa!!!” Tanganku melayang ingin memukulnya, tapi ia melihat dan berlari menjauh dariku. “Nitaaaaa!” seruku kesal. Rasanya, aku takkan bisa berhenti untuk tersenyum-senyum seharian ini. Lalu aku ingat bahwa ini adalah hari terakhir aku ujian, dan aku sudah tak ada kepentingan untuk ke sekolah lagi. Berarti kemungkinan untuk bertemu lagi dengannya sangat kecil, bahkan mungkin sama sekali tidak ada.

Tapiiiii, hal itu tak mampu merusak senyumku yang sudah mengembang sejak tadi. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar