Laman

Senin, 12 November 2012

Kisah Hijrahku (Part I)

    Banyak orang bertanya alasanku belakangan ini memakai gamis dan kerudung lebar, aku hanya menjawab, “Gua pengen insyaf” sambil tersenyum. Beberapa dari mereka ada juga yang mencecarku dengan bertanya, “Emang kemaren-kemaren belom insyaf?” diiringi dengan candaan yang lain. Dan aku hampir selalu memberikan jawaban yang sama, “Belom, masih belom sempurna. Gua udah capek jadi orang nggak bener, takut tiba-tiba besok gua mati tanpa punya bekal apa-apa buat nangkis api neraka.” Aku berusaha sesabar mungkin menjawab segala macam pertanyaan mereka, walau terkadang ada beberapa yang bertanya dengan nada mencibir. Ada juga yang diam saja, tapi tatapan mata mereka seolah bertanya “Kok pakean lu jadi begini?” dan aku tidak merasa berkewajiban menjawab pertanyaan yang tak diutarakan.

      Karena sudah terlalu banyak yang mengomentari, jadi sekalian saja ku-share ceritanya. Lumayan bisa memenuhi blog-ku yang sudah terlantar. Sempat terpikir ingin buat yang baru, tapi malas. Mau ganti template juga malas, padahal aku sudah bosan melihatnya tak pernah berubah. Curcol detected! Hehe.. okeh, aku mulai sajaa…. Bismillaah…



      Awalnya, saat bulan Juni tahun 2012 ini, di kantorku sedang keranjingan twitter. Norak? Memang. Aku memiliki akun twitter sejak jaman sekolah dulu, tapi sudah lama tak terjamah semenjak aku mulai sibuk kerja. Dan karena sudah lebih dari satu tahun aku tak menjenguk akun twitter-ku, aku lupa password-nya :D Orang-orang kantor mulai ribut menanyakan mengapa aku tak mem-follow back mereka. Waktu kujawab “Lupa passwordnya” ada yang menjawab, “Kan bisa di-reset password Cha.” Iya memang bisa kok, tapi aku juga lupa email mana yang kugunakan saat membuat akun twitter itu :D

      Aku memiliki lima akun email, di yahoo tiga, di google satu, dan satu lagi di in. Dua akun yahoo-ku sudah mati sepertinya karena terlalu lama tidak kubuka, begitu juga dengan akun email di In. Aku me-reset password dengan mencoba memasukkan semua email yang kupunya, tapi tak ada yang cocok. Kemungkinannya, email yang kugunakan untuk membuat akun twitter itu menggunakan email yang sudah mati. Hanya username-ku yang kuingat. Setelah mencoba-coba passwordnya hingga beberapa hari, akhirnya aku berhasil mengingat password-nya. Sebelumnya sempat terpikir olehku untuk membuat akun baru, atau mencari cara untuk membobol akunku sendiri. Aku sedih dengan pemikiran membobol akunku sendiri. Jika aku saja bisa membobolnya, berarti mudah bagi orang lain untuk melakukannya juga.

    Okeh lanjut, setelah berhasil mengingat password-nya, aku mem-follow back semua akun teman-temanku yang memintaku untuk melakukannya. Sejak dari situ, aku mulai asik ber-twitter-ria. Isi tweetnya? Sama sekali tidak berguna menurutku, hanya mention-mention tak penting dengan teman-temanku yang sebenarnya bisa diobrolkan langsung di kantor maupun di kampus. Aku tak membahas urusan pekerjaan di twitter, itu sama saja dengan ‘bunuh diri’. Dalam pikiranku saat itu, dunia ini penuh dengan orang-orang bermuka dua.

    Aku mulai tergelitik dengan salah satu akun teman SMK-ku. Dia selalu me-ReTweet akun @felixsiauw yang membahas tentang maksiatnya pacaran dan segala tetek bengeknya tentang hijab. Aku tertarik membaca tweetnya dan mulai memfollow akun ustadz Felix Siauw itu. Sejak dari situ, aku mulai memfollow beberapa akun islami lainnya, seperti @QURANdanSUNNAH @ManJaddaWajadaa @pedulijilbab. Dan aku mulai dilanda ke-GALAU-an hebat selama berminggu-minggu. Bukan tentang “maksiat pacaran” yang dibahas oleh ustadz Felix Siauw itu, sama sekali bukan. Sudah sejak lama aku meninggalkan aktivitas pacaran dan berniat untuk langsung menikah saja jika sudah saatnya nanti. Kegalauanku ini disebabkan oleh dua hal, “hijab” dan “riba”.

    Berhubung saat itu bulan Ramadhan, aku sedang bersemangat memperbaiki diri. Aku mulai menjaga tutur kataku, menyaringnya terlebih dahulu sebelum kumuntahkan dari mulutku. Sejak dulu aku memang tak pernah berkata kotor, hanya saja terkadang aku terbiasa memaki ketika sedang kesal. Aku mulai mengurangi kata-kata makian yang biasa terlontar dari mulutku. Aku pun mengurangi membicarakan hal-hal yang tak berguna, dan menggantinya dengan kata-kata yang lebih bermakna. Tapi hijabku masih belum sempurna.

    Menurut ustadz Felix Siauw, hijab adalah khimar (kerudung) dan jilbab (pakaian terusan muslimah yang tebal dan tidak menampilkan lekuk tubuh, seperti menerawang atau ketat). Untuk lebih jelasnya perintah tentang khimar (kerudung) ini ada dalam Al-Quran :
    Katakanlah kepada wanita yang beriman "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nuur : 31)

    Nah, sudah jelas kan kalau ber-khimar (memakai kerudung) itu wajib bagi semua wanita beriman (muslimah)? Yang merasa muslimah dan mengaku berTuhankan Allah, yuk sama-sama kita mengerjakan perintahNya. Perintah berkerudung ini tertulis dalam Al-Quran, itu berarti wajib, sama wajibnya dengan sholat, zakat, puasa dan rukun islam lainnya. Wajib juga sesuai syari’at yang telah Allah tetapkan, yaitu “mengulurkan kain kerudung sampai menutupi dada.” Jadi, yang kerudungnya masih dililit-lilit, pendek,  dimasukkan dalam baju, dan tidak menutup dada belum dianggap beriman oleh Allah. Yuk kita sempurnakan :)
    Perintah menggunakan jilbab (pakaian terusan muslimah yang tebal dan tidak menampilkan lekuk tubuh, seperti menerawang dan ketat) juga ada dalam Al-Quran :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59).

    Yang pakaiannya masih ketat-ketat dan menerawang, itu belum sesuai syari’at dan belum bisa dikatakan sebagai muslimah juga. Nggak percaya? Coba kamu cek sendiri di Al-Quran. Sayang lhoo Quran di rumah Cuma jadi hiasan, nggak pernah dibaca dan dipahami isinya. Masih ingat tuntunan bagi muslimin dan muslimat selama hidup di dunia? Al-Quran dan Sunnah Rasul (Hadits). Kalo mengaku muslimin/at, yuk sama-sama kita belajar, memperdalam Al-Quran. Nggak usah jauh-jauh mikir untuk orang lain dan lingkungan sekitar, untuk diri kita sendiri aja dulu. Kita sering mengeluh panas matahari di dunia, di neraka bakalan jauh lebih panas dari ini.

    Aku sudah lama memakai kerudung, tentu saja, tapi masih jauh dari kata “syar’i”. Aku merasa tertampar hebat jika membaca tweet @felixsiauw dan @pedulijilbab. Aku terbiasa memakai kerudung tanpa dililit, tapi tetap saja masih kurang panjang untuk menutup sampai dada. Dan aku sering memakai  pakaian atasan (kemeja, blouse, kaus) dan celana jeans pas badan, memang tidak ketat, tapi pas badan dan memperlihatkan lekuk tubuhku. Aku merasa malu setiap kali bercermin. Aku selalu berpikir “sampai kapankah aku akan terus seperti ini sedangkan sisa hidupku sudah hampir habis?”

    Hingga mendekati akhir bulan ramadhan, kira-kira seminggu sebelum lebaran, aku memutuskan untuk berubah sedikit demi sedikit. Aku mulai sering memakai kaus kaki, karena sebelumnya aku tidak tahu kalau kaki juga aurat. Padahal saat masih di pesantren dulu, aku sudah pernah mendengar hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. bahwa Asma’ binti Abu Bakar mengunjungi Rasulullah saw. dengan menggunakan pakaian yang tipis, Rasulullah berpaling darinya dan berkata “wahai asma’ jika perempuan sudah mengalami haid, tidak boleh ada anggota tubuhnya yang terlihat kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke wajah dan kedua pergelangan tangan.’’ (HR. Abu Daud). Kalau saja aku mau berpikir, Rasulullah tidak menyebut-nyebut tentang kaki, itu berarti kaki juga termasuk aurat. Oh ya, aku lebih suka menyebutnya pergelangan tangan karena al-kaffaini sepertinya tidak cocok diartikan telapak tangan dalam bahasa Indonesia :)

     Ada juga hadits yang mempertegas bahwa kaki termasuk aurat, kalau hadits ini aku baru tahu belakangan setelah berjilbab. Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “Barang siapa menarik (memperpanjang) pakaiannya dengan sikap congkak, maka Allah takkan melihat (memberi rahmat) kepadanya pada hari kiamat”. (Mendengar itu)Ummu Salamah bertanya “Bagaimanakah seharusnya wanita membuat ujung kain mereka?”. Jawab Rasul “Perpanjang sampai satu jengkal”. Ummu Salamah bertanya lagi “Kalau begitu telapak kaki mereka terbuka”. Rasul pun menjawab “Maka perpanjanglah sampai satu hasta, jangan lebih”. (HR. Jama’ah). Nah, sudah jelas kan kalau kaki itu seluruhnya aurat? :) satu hasta sama dengan satu lengan, mulai dari siku sampai jari-jari tangan.

    Aku tidak lagi menyampirkan salah satu ujung kerudungku ke bahu dan mulai mengulurkannya sampai menutupi dada. Belum terlalu panjang seperti para jilbaber yang kulihat di kampus memang, tapi cukup sampai menutupi dada. Aku juga sudah menghindari berpunuk unta (tonjolan di bagian belakang kepala). Caranya, aku mengepang rambutku dan kumasukkan ke dalam baju, tidak lagi kuikat tinggi-tinggi agar rambutku tak terlihat jika kerudungku tanpa sengaja tersingkap.

    Tentang punuk unta ini juga dijelaskan dalam hadits. Rasulullah saw bersabda “Ada dua golongan penduduk neraka yang belum pernah aku lihat keduanya. Pertama, kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia (maksudnya penguasa yang zhalim). Kedua, perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan, kemudian jalannya berlenggak-lenggok, kepala mereka terlihat seperti punuk unta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu (jarak yang jauh sekali)”. (HR. Muslim dan yang lain).
Contoh punuk unta

     Aku mulai mencari dalam lemari pakaian atasan yang lumayan panjang hingga menutupi bokongku. Untuk waktu beberapa hari, aku masih mengenakan celana bahan dan jeans-ku hingga akhirnya aku memutuskan untuk memakai rok. Aku melengkapi rokku dengan legging di bagian dalamnya agar kakiku tak terlihat ketika rokku tersingkap saat mengendarai motor. Aku hanya memiliki satu buah rok saat itu, lalu aku meminjam dua potong rok pada adikku. Adikku masih mondok di pesantren, jadi koleksi roknya banyak.

     Ketika aku mulai memakai rok, aku juga memperhatikan bahwa ternyata hampir semua kerudung yang kupakai ini tipis, aku pun mulai menumpukkan dua kerudungku menjadi satu sebelum kulipat menjadi segitiga. Percuma donk pakai kerudung tapi tipis, apa yang mau ditutupi kalau masih menerawang dan memperlihatkan lekuk leher dan bentuk kepala?

     Saat hari raya Idul Fitri tahun 2012 Masehi ini, aku meminjam gamis milik mama karena aku tak punya gamis. Aku memang berniat untuk memakai gamis dua bulan kemudian. Kenapa gamis? Karena menurutku, rok masih menampakkan lekuk tubuh. Dan satu hal lagi, di pesantren dulu aku terbiasa menyebut “jilbab” untuk gamis dan “khimar” untuk kerudung karena memang dalam kamus bahasa arab yang kumiliki “jilbab” berarti gamis. Makanya, aku agak kurang setuju kalau ada yang menyebut “jilbab” sambil menunjuk ke arah kepala—maksudnya kerudung. Kalau mau menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sebut saja “kerudung” dan “gamis”.

    Okeh, back to my story. Aku mulai membeli gamis setelah lebaran, dan mulai mengenakannya untuk keluar rumah. Tapi aku masih mengenakan atasan dan rok untuk ke kantor karena kupikir orang-orang di kantor bakalan heboh nantinya. Aku hampir tidak pernah memakai rok di kantor sebelumnya. Maka ketika pertama kali aku mengenakan rok, mereka semua mempertanyakannya. Saat itu aku hanya menjawab “Lagi pengen jadi cewek” tanpa menyebutkan alasanku yang sebenarnya. Saat itu aku masih takut mendengar komentar dan cibiran mereka. Hingga akhirnya aku bertekad untuk memutus hubungan dengan “riba” yang membuatku memutuskan untuk resign. 
To Be Continued :D

2 komentar:

  1. subhanallah keren nisa ceritanya,,, kk aja pingin buat cerita kayak nisa bingung mau mulai dari mana..
    kisah hijrah ku (part 1) knp gak dicoba dimasukin ke TIM editor aja, siapa tau bisa di terbitkan...
    bukanny ntr di editor, oleh pihak sana diedit lagi y...
    sayang lho kalo cuma di blog aja..
    ceritanya nisa bikinm kk terharu, jadi pingin nyoba bikin cerita tentang diri sendiri..
    coba aja nisa masukin k editor...

    BalasHapus
  2. belom berani kak ayu, niatnya ini untuk teman2 aku yg masih suka banyak nanya ajah, tapi makasih sarannya, nanti aku coba :)

    BalasHapus