Laman

Sabtu, 20 Oktober 2012

Kenangan Karin

Aku girang bukan main saat Adam akhirnya mengiyakan ajakanku, setelah ratusan kali ia menolak dengan berbagai alasan. Kami pun menentukan waktu dan tempat janjian kami, dan apa yang akan kami lakukan nanti. Ia mengajakku menonton. Kukatakan saja kalau aku tak punya uang lebih. Sebenarnya, itu hanya akal-akalanku untuk mengetahui bagaimana responnya. Dan responnya sesuai dengan harapanku, ia berjanji bahwa ia akan mentraktirku seharian penuh. Adam juga menanyakan kado apa yang kuinginkan karena harinya bertepatan dengan hari ulang tahunku. Sejujurnya, aku tak menginginkan benda apapun darinya. Ia sudah mau bertemu dengaku saja rasanya bahagia sekali. Tapi akhirnya aku menjawab, “Terserah, asalkan jangan barang habis, atau yang gampang rusak, atau yang layu, biar ada kenang-kenangannya.” Jawabku dengan polosnya. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu.

Temanku, Rena, mengenalkanku pada Adam kira-kira setahun yang lalu. Awalnya aku merasa biasa saja padanya, karena memang tak ada yang istimewa yang bisa kulihat darinya. Bahkan aku cenderung jutek. Pada awalnya, aku jarang membalas sms-nya. Telepon darinya pun jarang sekali kujawab. Hanya sesekali kujawab, itupun dengan nada ketus dan jutek. Aku tak suka bermanis-manis pada orang yang baru kukenal—apalagi cowok. Aku hanya berusaha bersikap sedikit baik—benar-benar hanya sedikit—karena ia teman dari temanku. Tapi Adam dengan sabarnya berusaha mendekatiku yang jutek ini,—atau mungkin otaknya memang bebal jadi ia tak mengerti penolakanku?—aku pun tak ingat sejak kapan aku mulai merasa simpatik padanya. Pokoknya, saat awal-awal kenalan aku jelas-jelas menunjukkan bahwa aku tak suka padanya.
Ia pernah menembakku dua kali dan dua kali pula aku menolaknya. Yang pertama, karena aku memang tak suka padanya, dalam artian lebih dari seorang teman. Aku benar-benar menganggapnya temanku saat itu, sepertinya waktu itu sikapku padanya sudah mulai melunak hingga ia berani menyatakan keinginannya.

Yang kedua, karena aku masih belum merasa yakin padanya. Aku sadar saat itu aku sudah mulai menyukainya—lebih dari teman maksudku—tapi aku belum seratus persen yakin dengan perasaanku sendiri. Ditambah karena kami hanya pernah bertemu satu kali saat kami berkenalan dulu. Ia seorang mahasiswa yang tinggal dengan pamannya di daerah Depok sana, sedangkan aku tinggal di Tangerang. Benar-benar jarak yang terlalu “dekat” bagiku.

Orang tuanya bercerai saat ia masih SD dulu. Ibunya ketahuan selingkuh, dan ayahnya—yang temperamen itu—memukuli ibunya hingga babak belur di hadapan kedua anaknya. Adam adalah anak pertama, saat itu ia masih kelas 5 SD dan adik laki-lakinya kelas 3 SD. Sejak saat itu Adam mengaku ia dan adiknya takut pada sang ayah. Padahal si ayah sangat sayang pada anak-anaknya dan tak pernah berbuat kasar. Mereka memang tahu ayah mereka temperamen, tapi mereka tak pernah mengira bahwa si ayah tega memukuli ibu mereka. Sang ibu pun mengaku baru kali itu suaminya bersikap kasar padanya. Mulutnya memang pedas, tapi ia tak pernah main tangan.

Sejak perceraian itu—yang tak pernah disesali keduanya—Ibunya mengajak serta kedua anaknya kembali ke Palembang, mereka tinggal di Tangerang karena ayah mereka orang Tangerang. Adam dan adiknya tak pernah mau menemui ayah mereka hingga mereka beranjak remaja, meski si ayah ratusan—bahkan mungkin ribuan—kali memohon pada mereka untuk datang menemuinya. Adam baru mau menemui ayahnya sesaat sebelum kuliah di Depok dan tinggal dengan pamannya. Sejak saat itu Adam rutin mengunjungi ayahnya setahun sekali. Hanya kunjungan wajib, datang siang, sore sudah pulang. Ia tak betah berlama-lama di rumah ayahnya yang sudah menikah lagi dan memiliki 3 orang anak. Ibunya? Tentu saja menikah dengan selingkuhannya itu. Itu cerita menurut versi Adam.

Nah, kembali ke ceritaku lagi. Karena aku dan Adam hanya pernah bertemu sekali, aku tak ingat bagaimana wajah Adam. Yang kuingat hanya, wajahnya biasa saja. Tampan tidak, jelek pun tidak. Tapi ia terlihat dewasa dari sikapnya. Aku suka dengan laki-laki dewasa, sedikit father complex sepertinya. Tapi aku benar-benar tidak merasakan apapun saat pertama bertemu dengannya. Aku menolaknya karena menurutku Adam orang yang baru kukenal dan terlalu jauh untuk ditemui.

Baru beberapa minggu kemudian ia menanyakan apa itu friendster,—saat itu friendster masih menjamur—benar-benar GAPTEK. Setelah kujelaskan, ia menanyakan friedster-ku dan memintaku membuatkan akun friendster untuknya. Lalu selanjutnya, aku mengajarkannya cara menggunakannya. Aku juga mengajarkannya menggunakan Yahoo! Messenger, mengusulkan untuk menginstall ebuddy di handphone-nya agar kami bisa online setiap saat. Tapi beberapa bulan kemudian, ia malah mengkhianatiku lewat akun friendster-nya. Benar-benar menggelikan! Dia pikir aku takkan pernah mengetahuinya?

Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, kami benar-benar bertemu di tempat yang sudah kami tetapkan. Adam yang memilih lokasinya, lokasi yang takkan pernah menjadi pilihanku saat itu karena aku masih sekolah. Pilihannya jatuh pada tempat yang jauh dari rumahku. Aku bahkan tidak mengenal daerah ini sama sekali. Sedangkan rumah Adam tidak jauh dari lokasi janjian kami. Sungguh tidak adil!

Awalnya aku keberatan, karena Mama pasti takkan memberiku ijin pergi ke tempat asing seorang diri karena aku memang hampir tak pernah pergi seorang diri. Dan akupun tak ingin tersesat di daerah yang jauh dan asing bagiku. Tapi ia berhasil meyakinkanku bahwa aku takkan tersesat kalau naik busway—alat transportasi yang baru sekali kunaiki—dan ia berjanji akan membimbingku lewat telepon, dan aku percaya ia takkan membiarkanku tersesat. Aku tak peduli walau seharusnya ia yang berkorban menempuh jarak yang jauh untuk menemuiku—kalau Adam benar-benar menyayangiku seperti yang sering ia ucapkan. Tapi saat itu aku hanya seorang gadis lugu dengan pengalaman tentang makhluk bernama cowok yang sangat minim. Sekarang aku mulai berpikir, sebenarnya apa perbedaan antara lugu dan tolol?

Saat aku datang di tempat yang kami janjikan, ia belum datang. Tentu saja! Umumnya cowok akan menunggu di tempat lain yang terjangkau oleh pandangannya untuk melihat fisik si lawan kopi daratnya. Kalau ternyata ia terlalu mengerikan untuk dilihat, si cowok takkan mau menemuinya dengan berbagai macam alasan. Aku baru mengetahuinya sekarang, setelah semuanya terjadi.

Aku langsung meneleponnya begitu sampai di tempat, aku bukanlah seorang penyabar yang mau berlama-lama menunggu orang lain. Ia menjawab dan berkata sedang di toilet. Aku mengutak-atik handphone-ku sambil menunggunya. Tak lama kemudian, ia datang.

“Yuk.” Ajak seseorang. Entah kenapa suaranya terdengar tidak asing di telingaku. Aku mendongak untuk melihat orang itu. Wajah yang familier di mataku walaupun aku baru satu kali bertemu dengannya. Aku sudah ratusan kali melihat fotonya di dunia maya. Aku memperhatikan penampilannya. Sederhana. Tepat seperti dugaanku, dan aku senang karenanya. Berarti aku takkan terlihat terlalu biasa berjalan di sampingnya hari ini, karena aku tak suka berpenampilan berlebihan seperti yang dilakukan anak remaja jaman sekarang.

Aku mengangguk dan berdiri. Kamipun berjalan beriringan dalam diam. Awalnya aku selalu berusaha berjalan di sampingnya dengan beberapa kali berlari-lari kecil. Tapi kemudian ia menyadari ukuran kakiku tak sepanjang kakinya. Ia memperpendek langkah kakinya, berusaha menyamai langkahku agar aku tak perlu berlari-larian lagi. Adam lumayan perhatian, pikirku dalam hati saat itu.

“Kita mau kemana?” Tanyaku, memecah kecanggungan diantara kami saat kurasa ia takkan mengatakan apapun lebih dulu walau hanya sekedar basa-basi. Tapi terdengar kegugupan dalam suaraku.

“Mau nonton, kan kemaren Kakak udah bilang mau ajak Karin nonton,ia menjawab sambil tersenyum sedikit. Aku menyukai senyumnya. Ia terlihat menarik dengan kesederhanaannya.

Kamipun kembali berdiam diri. Aku menolak menjadi yang pertama lagi membuka pembicaraan di pertemuan kedua kami ini. Tapi kemudian Adam pun tak tahan dengan keheningan yang tercipta di antara kami.

“Tadi nggak nyasar kan?” Tanya Adam.

“Nggak,jawabku, sambil menggelengkan kepala. “Sempet nanya-nanya sama petugas busway-nya sih. Habis, ini kan kedua kalinya Karin naik busway, sendirian pula,cerocosku, langsung mengatakan apa yang ada di pikiranku. Aku berharap ia merasa bersalah karena telah mengajakku pergi jauh-jauh. Tapi kemudian ia mengganti topik, tak ingin mendengar sindiranku lagi.

“Terus, Karin bilang apa sama Mama?” Tanyanya lagi. Pilihan pertanyaan yang salah sebenarnya, karena ia tahu aku takkan diizinkan kesini. Tapi kemudian aku menahan dorongan untuk menyindirnya lagi. Aku tak ingin merusak suasana yang mulai menyenangkan ini.

“Bilangnya sih ke rumah temen yang di Serpong,jawabku jujur, tanpa sindiran sedikitpun. “Rumah Kakak deket dari sini?” Tanyaku balik. Dan kami mengobrol tentang apa saja seperti yang biasa kami obrolkan setiap harinya di telepon.

Sampai di bioskop, kami berdebat tentang film apa yang akan kami tonton. Aku ingin menonton Twilight, tapi ia ingin menonton film yang lain lantaran ia sudah menonton Twilight. Bukan berarti aku tak suka film action pilihan Adam, tapi aku benar-benar ingin menontonnya. Tapi akhirnya aku menyerah, aku tak pernah tahan berdebat lama-lama dengan orang lain.

Karena filmnya masih akan mulai setengah jam lagi, Adam mengajakku berkeliling mall. Aku menanyakan toko buku padanya. Adam berkomentar, “Pasti deh nanyain toko buku.”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Ia tahu aku senang membaca dari percakapan-percakapan kami selama hampir satu tahun ini. Aku pernah beberapa kali mengabaikan telepon dan sms darinya saat aku sedang asyik membaca, tapi ia tidak marah, ia tak pernah marah walaupun ia berulang kali meneleponku dan mengirimiku sms. Menurutku, ia adalah orang paling sabar yang pernah kukenal. Atau ia memang sebenarnya tak terlalu peduli padaku?

Aku memilih-milih judul novel yang ada, lalu mengambil salah satunya yang sudah terbuka untuk kubaca. Membaca sedikit dan melupakan Adam beberapa menit tak ada salahnya kan? Toh Adam juga akhir-akhir ini mulai sering mengabaikanku.

“Karin?” Tegur Adam sambil menyentuh bahuku ringan. Aku menoleh padanya.

“Filmnya udah mulai nih, pergi sekarang yuk.”

“Baru baca dikit,protesku. Tapi aku tetap meletakkan novel yang kubaca tadi pada tempatnya.

“Nanti kita kesini lagi,” Adam berjanji sambil tersenyum. Lalu kami berjalan ke bioskop. Ternyata filmnya memang sudah mulai. Saat kami memasuki ruangan teater, di dalam sudah gelap. Benar-benar gelap hingga aku tak tahu ia berhenti di depanku.

“Duh!” Seruku pelan saat hidungku menabrak punggungnya.

Adam terkekeh menahan tawa. “Karin jalannya gimana sih?” Protesnya dengan nada jahil. Ia mengerjaiku!

“Lagian Kakak ngapain sih berenti tiba-tiba? Udah tau gelap,sungutku kesal. Aku mendengarnya kembali terkekeh, membuatku semakin kesal padanya.

“Yuk,ajaknya sambil menggamit tanganku, dan jantungku langsung berdetak liar. Aku yakin bisa mendengar senyum dalam suaranya. Ia menarikku, membimbingku masuk ke dalam. Aku hanya menunduk dan mengikutinya berjalan. Terlalu kaget untuk mengatakan sesuatu. Bagaimana bisa ia menemukan tanganku dalam kegelapan seperti ini? Rasanya wajahku memanas merasakan genggaman tangannya yang besar.

Sampai di dalam sudah tak terlalu gelap. Ada sedikit cahaya dari layar bioskop. Ia menarikku duduk di pojokan, jauh dari orang lain yang ikut menonton. Penontonnya memang hanya sedikit. Sampai kami duduk pun ia tidak melepaskan tanganku. Ia meletakkan tangannya—yang masih menggenggam tanganku—di lengan kursi. Lengannya hampir menyentuh dadaku, dan aku menahan napas karenanya. Aku belum pernah sedekat ini dengan cowok manapun. Kedekatan ini membuatku risih. Aku mendorong lengannya sedikit ke depan dengan tangan kananku yang bebas, tanpa melepaskan genggamannya. Seperti yang sudah kuduga, ia menoleh padaku. Tak ingin membuatnya berpikir aku menghindarinya, aku meletakkan kepalaku di bahunya dan melingkarkan tangan kananku di lengannya. Mungkin aku akan terlihat seperti seorang cewek yang menggelayut mesra pada kekasihnya. Ugh! Aku tak suka membayangkannya. Kami bahkan bukan sepasang kekasih.

Adam tersenyum dan melepaskan genggaman tangannya—membuatku sedikit kecewa—lalu ia mengusap kepalaku lembut. “Ngantuk?” Tanyanya.

“Pusing.” Jawabku langsung. Aku tak mampu memikirkan jawaban lain dengan debar jantung yang bertalu-talu memukul dadaku seperti ini. Kukatakan sekali lagi, aku belum pernah sedekat ini dengan cowok manapun.

“Karin bener-bener sayang ya sama Kakak?” Ucapnya, masih sambil mengusap kepalaku lembut.

Aku pun melepaskan diri darinya sebagai respon refleks atas kata-katanya barusan. “Dasar narsis!” Semburku. Aku memang tak pernah mengaku padanya tentang perasaanku. Tapi sepertinya ia mengerti aku gadis yang tidak suka mengumbar kata-kata manis seperti dirinya.

Adam hanya terkekeh pelan dan kembali meraih tanganku. Debar jantungku tidak juga mereda walau sekarang kami hanya berpegangan tangan.

Aku tak bisa berkonsentrasi pada film yang kami tonton. Jemari Adam yang mengelus pergelangan tanganku sangat menggangguku. Tapi aku tak bisa menepis tangannya karena aku juga menyukainya. Saat itu aku belum sadar kalau ia sudah biasa menonton dengan perempuan. Dan ia terbiasa menyenangkan hati perempuan. Apalagi anak kecil sepertiku yang memang belum tahu apa-apa dalam berhubungan dengan laki-laki.

“Karin bawa apa aja?” Adam bertanya sambil meraih tasku dan membukanya.

Terlambat bagiku untuk menghentikannya. Aku hanya membawa pembalut dan tisu di tasku. Wajahku memanas ketika Adam mengenali bentuk pembalut itu. Aku baru kali ini jalan dengan cowok, dan tak pernah terpikir olehku kalau teman jalanku ini akan membuka dan melihat isi tasku.

“Lagi dapet?” Tanyanya.

Aku mengangguk sekali. Rasanya wajahku memanas lagi.

“Tas Karin kecil banget, muat nggak ya?” Adam bergumam sambil membuka tasnya sendiri.

“Muat apa?” Tanyaku, bingung.

“Kado,” Adam tersenyum, “Kakak kan udah janji mau kasih Karin kado,” ia memindahkan kotak yang terbungkus kado itu ke tasku. Adam agak sedikit memaksakan kotak itu untuk masuk ke tasku. Tasku memang terlalu kecil, tapi ternyata kotak itu berhasil masuk tanpa cacat.

“Nggak dibuka dulu?” Tanyaku.

“Jangan, buka di rumah aja,” kata Adam.

“Kenapa? Sama aja kan? Karin mau tau apa isinya.”

“Pokoknya di rumah,” ucap Adam dengan nada tegas yang menandakan ia tak ingin tawar-menawar.

“Yaudah,” aku pun mengalah dan kembali memalingkan wajahku ke layar. Ternyata layar bioskop menampilkan adegan ciuman panas sang tokoh utama dan perempuan yang selalu bersamanya.

Adam menutupi mataku dengan tangan kanannya. “Anak kecil nggak boleh liat,” kata Adam dengan suara menggoda. Masih sambil menutupi mataku, ia berusaha memalingkan wajahku ke bahunya.

“Karin kan udah tujuh belas tahun,” protesku. “Kalau Karin nggak boleh liat, Kakak juga nggak boleh.” Aku mengulurkan tangan untuk menutupi matanya juga.

Adam terkekeh dan memalingkan wajahnya ke arahku. “Kalau begitu, Kakak liatin Karin aja ya?” Ia menatapku lembut, tapi sorot matanya terlihat serius. Matanya seolah memenjarakanku, membakar mataku dengan kekuatan tatapan matanya. Jemarinya yang sejak tadi bertengger di wajahku mengusap pipiku lembut dan, sepertinya secara perlahan membimbing wajahku mendekati wajahnya.

Refleks, aku menunduk. Aku tak tahan ditatap seperti itu. Jantungku berdetak dengan liarnya seolah berusaha melompat keluar dari rongga dadaku. Wajahku memanas sementara tanganku terasa sedingin es. Aku memalingkan wajahku kembali ke layar bioskop, berusaha menenangkan debaran jantungku. Adegan ciuman tadi sudah lewat, Alhamdulillah. Sempat terlintas di benakku, kami akan melakukan adegan yang sama. Tapi aku merasa tidak siap untuk melakukannya dengan Adam! Aku memang belum pernah berciuman. Ditambah kami baru bertemu dua kali. Tapi mungkin hatiku lebih dulu tahu kalau ia tidak cukup baik untukku.

Jari-jari Adam masih mengelus pipiku lembut. Sepanjang penghabisan film, kami tidak lagi mengobrol seperti sebelumnya. Mungkin ia masih kecewa dengan penolakanku tadi. Tapi aku tetap membiarkan jari-jarinya mengelus wajahku walaupun aku merasa sangat risih. Jemarinya menjelajahi wajahku, pipiku, keningku, pelipisku, sampai hidungku. Dan aku bersyukur tangannya tak pernah mendekati bibirku, karena aku pasti akan dengan refleks menepis tangannya. Tapi mungkin ia juga terlalu takut mendapat penolakan lagi dariku.

Setelah film selesai, Adam bangkit lebih dulu dan berjalan mendahuluiku ke pintu keluar. Kupikir, kami akan berjalan bergandengan tangan di luar bioskop, tapi ternyata tidak. Kami memang berjalan beriringan seperti tadi, tapi tidak saling menyentuh sama sekali. Aku mati-matian berusaha menghilangkan dorongan ingin menyentuh tangannya lebih dulu. Aku terlalu pemalu.

Adam mengajakku makan siang, meski sebenarnya hari sudah kelewat sore. Kami sama-sama memesan mi ayam. Adam makan lahap sekali, makanannya lebih dulu habis dibanding punyaku. Sedangkan aku tak sanggup menghabiskannya. Adam berkali-kali membujukku untuk menghabiskannya, tapi aku benar-benar kehilangan selera makan. Ternyata begini rasanya makan dengan cowok, semuanya terasa hambar di lidahku.

Selesai makan, aku mengajaknya pulang. Ia hanya mengantarku sampai halte busway. Padahal sebelumnya ia berjanji akan mengantarku pulang sampai rumah. Entah alasan apa yang ia ungkapkan padaku saat itu. Aku sudah lupa. Ia hanya memberi-tahuku dimana aku harus transit dan naik busway tujuan selanjutnya. Rasanya di hari itu aku terlalu pemaaf, padahal aku bukan orang yang naif.

Sampai di rumah aku langsung membuka kado darinya, ia menghadiahkanku Qur’an. Aku cepat-cepat meneleponnya dan bertanya, “Kenapa Qur’an?” bukan karena aku tidak suka dengan pemberiannya, aku hanya penasaran dengan alasannya. “Karena Qur’an yang nggak akan pernah rusak, karena Karin pasti merawatnya dengan baik kan?” Jawabnya. Aku tersenyum-senyum sendiri mendengar jawabannya. Ia memang lebih mengerti agama dibanding aku. Ia lulusan pesantren di Palembang sana. Tapi pengetahuan agamanya tidak berbanding lurus dengan sikapnya terhadap perempuan. Aku menganggapnya bersikap sama seperti terhadap diriku pada perempuan manapun.

Lewat beberapa hari berikutnya, aku mendapati Adam berkirim testimony dengan seorang cewek di akun friendster-nya. Ia memanggil cewek itu dengan sebutan “Babe”, dan cewek itu pun balas menyebutnya dengan kata yang sama. Itulah sebabnya aku tak pernah mau dipanggil dengan sebutan yang sama setelahnya, karena itu mengingatkanku pada Adam.

Awalnya Adam tak mau mengakui siapa cewek yang mengiriminya testimony seperti itu, tapi aku mendesaknya terus sampai ia mengaku. Akhirnya ia mengakui cewek itu adalah pacarnya. Ia bilang belum ada satu bulan jadian. Mau tahu apa alasan Adam ketika kutanya mengapa ia secepat itu jadian dengan seseorang setelah ia bilang sayang padaku dan ingin jadi pacarku? Ia bilang, “Habisnya, Karin nggak pernah nerima cinta Kakak. Kakak kan pengen punya cewek,” ia mengatakan itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Jadi kesimpulannya, ia mau dengan cewek mana saja yang penting ia punya pacar. Ia tidak benar-benar serius menganggapku sebagai satu-satunya perempuan.

Bisa dibayangkan betapa sakit hatinya aku saat itu? Aku yang sudah sebegini sukanya pada Adam hingga rela jauh-jauh datang untuk menemuinya walau ia mengingkari janji untuk mengantarku pulang.

Sejak saat itu aku tak menghubunginya selama seminggu, tapi ia tak pernah mencariku. Akhirnya aku tergerus oleh perasaan rinduku padanya. Setelah lewat satu minggu, aku mengirim sms untuknya. Aku hanya menanyakan kabarnya dan apa yang ia lakukan. Ia tidak langsung membalas seperti biasanya. Ia mulai jarang membalas sms-ku dan menjawab teleponku sejak aku tahu ia sudah punya cewek. Ia beralasan sibuk UAS di bulan juni itu. Tapi ia masih memakai alasan sibuk kuliah hingga satu bulan berikutnya, padahal seharusnya ia libur selama sebulan setelah UAS.

Akhirnya aku berhenti menghubunginya karena aku merasa ia menghindariku. Aku merasa seperti mengemis cinta seorang laki-laki yang tak berperasaan. Dengan jahatnya ia mencampakkanku setelah berhasil membuatku jatuh cinta padanya. Aku memang hanya seorang gadis bodoh yang masih terlalu lugu saat itu.

Beberapa bulan berikutnya, ia menghubungiku, menanyakan kabarku dan menghujaniku dengan kata-kata rindunya. Aku menjawab dengan hati berdebar-debar, aku memang masih menunggu sms maupun telepon darinya. Aku menanyakan ceweknya, tapi ia terdengar enggan menjawab. Ia malah menjawab dengan candaan. Hingga beberapa hari berikutnya, aku menghubunginya, merasa ia telah kembali lagi padaku. Tapi ia hanya memberikan harapan kosong padaku. Lagi-lagi, ia mengabaikan sms dan teleponku, hingga akhirnya aku berhenti menghubunginya, lagi.

Ia masih menghubungiku rutin setiap beberapa bulan sekali setelahnya. Hingga saat lebaran 3 tahun yang lalu, ia mengirimiku sms ucapan hari raya seperti teman-temanku yang lain, tapi aku tidak membalasnya. Lalu ia meneleponku saat aku sedang tidur siang, adikku yang menjawab. Ia menitipkan pesan agar aku memberi kabar padanya, tapi tidak kulakukan. Beberapa minggu berikutnya ia mengirimiku sms, hanya menanyakan kabar, dan tidak kubalas. Setelah itu, tak ada lagi kontak antara aku dengannya. Kesan yang kutangkap dari sikapnya, ia mencariku disaat ia sedang ada masalah dengan pacarnya.

Aku bosan mengharapkan orang yang tak mengharapkanku, aku lelah memikirkan orang yang tak pernah memikirkanku, aku muak menyimpan rasa ini terlalu lama. Aku tidak mudah jatuh cinta, dan dia satu-satunya orang yang telah berhasil membuka hatiku yang selalu tertutup rapat untuk siapapun, dan dia pula satu-satunya orang yang berhasil menghempaskan perasaanku yang baru menemukan bentuknya dan kembali hancur karenanya.

Aku mulai memahami cinta datang karena kebersamaan. Dan untuk menghapusnya, aku harus mengakhiri kebersamaan kami yang—kini kusadari—penuh dengan maksiat, juga selalu memberikan harapan kosong. Aku memahami bahwa laki-laki serius hanya akan datang untuk meminangku, bukan yang selalu mengecewakanku, menghancurkan harapan-harapanku. Aku menyadari anak cewek memang lemah terhadap rayuan, padahal sebelumnya aku selalu berhasil menjaga jarak dengan para cowok. Aku menyadari hanya Allah-lah seharusnya tempatku berlabuh. Ia tak akan pernah mengecewakanku, Ia tak akan pernah melupakanku walau aku sering melupakanNya, Ia akan selalu mengulurkan tanganNya untukku agar aku tak kehilangan arah dalam perjalan kembali padaNya.

Sekarang? Aku sibuk mempersiapkan diri menyambut calon suamiku yang telah Dia persiapkan khusus untukku. J

note: kisah ini hanya fiktif belaka, bila terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, dan lain-lain, mohon jangan dipikirkan :) 
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar